Masker, dari Simbol Resistensi Biologis Hingga Ajang Kontestasi Politik

0

Oleh : Hendrawan R. Wijaya Ben Jaisyul

Mahasiswa Universitas Hasanuddin

Masker, dari Simbol Resistensi Biologis Hingga Ajang Kontestasi Politik

Pada mulanya di Eropa sekitar abad 17, masker dirancang—semata—untuk resistensi biologis, vis a vis terhadap virus yang mewabah kala itu. Kini di abad 21, masker menjelma outfit yang paling laris dikenakan mayoritas kalangan, guna terhindar dari covid-19. Resistensi biologis. Seiring perkembangan zaman, dari yang semula-semata produk resistensi biologis, alih-alih sebagai bisnis simbolis, gaya-gayaan, hingga medium kampanye politik demi terkabulnya hasrat berkuasa.

Yasraf Amir Piliang dalam Buku “Semiotika dan Hipersemiotika: Kode, Gaya dan Matinya Makna” menjelaskan terminologi semiotika ala C.S Pierce mengenai simbol. Menurutnya, simbol adalah sesuatu yang di dalamnya terdapat kesepakatan, laiknya masker, kita memakai masker karena ada kesepakatan. Materialisasi kesepakatannya, adalah jika kita memakai masker maka sukar untuk terinfeksi Covid-19.

Kesepakatan ada karena intensi, intensi tak lepas dari kepentingan. Konklusinya, di balik kesepakatan (masker) ada kepentingan yang bermain.

Masker, dari awal munculnya dikenakan untuk meresistensi biologis kita akan wabah, kini berevolusi menjadi outfit ganda menjelang pilkada: resistensi biologis sekaligus propaganda baru dalam musim politik. Apa dan bagaimanapun bisa didesain di sana (baca; masker), bahkan mimik senyum kandidat “paling merakyat”pun bisa dicetak, dan penyebarannya ampuh, mampu melewati rintangan dan memasuki lorong sempit yang tak mampu takluk oleh media sekaliber baliho, poster dan sejenisnya.

KAMPANYE POLITIK

Sejak ditetapkannya pelaksanaan pilkada pada 09 Desember 2020 mendatang, masker telah bertransformasi pesat, menjadi medium berbagai bentuk kampanye seperti iklan, promosi, hingga kampanye politik.

Setidaknya di Indonesia, alat peraga kampanye politik berupa aksesoris—selebaran, brosur, pamflet, poster, pakaian, penutup kepala, alat makan/minum, kalender, kartu nama, pin, alat tulis, payung, dan stiker—kini bertambah satu, masker bermuatan senyum “paling merakyat” para kandidat, dan tak lupa pula diikutkan nomor kandidat terkait.

Hari ini masker tak bisa dipisah-ceraikan dari kampanye politik. Slogan demi menang tertaut di masker, “jangan sampai tidak coblos saya, karena nasib cemerlang daerah ini ada di tangan kami, tangan rakyat”. Pun di kubu sebelah dengan slogannya “lanjutkan, sekali lagi”. Masker kini jadi bagian strategi penting dalam kampanye politik, mengingat pilkada tahun ini sangat berbeda dari tahun sebelumnya. Sebab pandemi dan pilkada bergandengan, sehingga batas-batas kesehatan dan hasrat untuk menang dalam pilkada menjadi kabur.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here