BIRU VS KUNING : DIMANA PERAN PEMERINTAH?

0

Oleh : JJ Rahib

Mahasiswa Universitas Hasanuddin Makassar

 

Selasa, 30 Agustus kemarin, para supir angkot di Nunukan turun ke jalan merayakan aspirasinya “menolak keberadaan transportasi online”,

Kejadian ini merupakan suatu hal yang patut diamati dengan seksama. Namun, jangan buru-buru mencari kambing hitam tentang siapa yang salah, si biru kah atau si kuning atau bisa jadi pemerintahnya?

 

Kemajuan teknologi adalah hal yang niscaya dalam berkehidupan. Dulu alat transportasi hanyalah kaki, dipergunakan ke sana kemari, seiring perkembangan zaman, maka lahirlah angkot yang menjadi medium transportasi paling mutakhir. Angkot (angkutan kota) sejak munculnya hingga saat ini, merupakan transportasi yang melekat pada batin-batin para penggunanya, masyarakat pada umumnya.

Walaupun tidak sedikit supir angkot yang ugal-ugalan, berhenti mendadak tanpa menyalakan lampu weeser, sering membuat macet, volume musiknya menyaingi musik elekton kondangan, namun di balik semua itu, adalah kepala rumah tangga yang sedang mengais rezeki.

Digalakkannya era digitalisasi, bahwa semuanya kemungkinan akan di online-kan, begitupun dengan angkot, maka lahirlah transportasi online. Tinggal klik, menunggu, dijemput dan sampai pada tujuan.

Dengan hadirnya transportasi online (kuning) “maxim” di Nunukan, akan membawa dampak pada berkurangnya pendapatan para supir angkot. Dari yang 100 ribu perhari menjadi 50 ribu saja perhari.

 

Masyarakat banyak (yang katanya nyaman bertransportasi online) beranggapan, bahwa mestinya para supir angkot itu move on, dengan menjual angkotnya, lalu membeli android dan beralih menjadi pengemudi transportasi online. Ada juga anggapan, yang beredar, di abad 21 ini, masyarat harus melek teknologi, jangan gaptek (gagap teknologi), nanti kalah saing. Tentua dua anggapan ini tidaklah salah, namun sangatlah menyudutkan supir angkot, dan sangat reaksioner. Seakan-akan angkot di era digitalisasi adalah sesuatu yang kadaluarsa.

 

Lalu dimana peran pemerintah? Sebagai pemangku kebijakan, mestinya pemerintah tak menunggu lama atau tak acuh untuk merespon dengan praktik—bukan sekedar janji-janji saja—yang saling menguntungkan untuk pihak-pihak yang bertikai, seperti wilayah operasional kedua belah pihak ditentukan, atau jam operasional diberlakukan secara bergantian. Namun, sangat disayangkan, pemerintah, dalam hal ini Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) tak mampu memberikan solusi, seakan-akan tak acuh pada persoalan ini. Ini persoalan bukan legal dan illegal, namun melampaui itu, tentang bagaimana petikaian dapat terselesaikan dengan tanpa menyudutkan salah satu pihak.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here